Pernahkah Anda mendengar tentang desa berbahasa Inggris? Desa di Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur ini sangat erat kaitannya dengan sosok Muhammad Kalend Osen. Bagaimana perkembangannya? Sebuah papan bertuliskan "Desa Bahasa" terletak di Jalan Angelir, Dusun Singhahan, Desa Palem, Kecamatan Pare. Sekitar 300 meter dari perempatan jalan tersebut terdapat sebuah pusat pelatihan bernama Basic English Course (BEC).
Sekitar 33 tahun yang lalu, pusat studi yang didirikan oleh Muhammad Kalend Osen memperkenalkan istilah "desa Inggris" kepada desa. Bahkan hingga saat ini, istilah ini sangat populer di masyarakat dan telah dikenal di seluruh negeri bahkan di luar negeri.
Jangan berasumsi bahwa semua penduduk berbicara dalam bahasa Inggris. Istilah "Desa Inggris" muncul dari mulut ke mulut. Tidak ada yang tahu kapan istilah ini muncul atau siapa yang menciptakannya. Istilah ini dipilih karena banyak kursus bahasa Inggris yang ditawarkan di daerah Paré, terutama di desa Palem dan Tulunrejo.
"Saya pribadi tidak setuju dengan istilah itu. Itu berita palsu. Itu menyesatkan," kata pria yang biasa disapa Tn. Callend itu. Ayah tiga anak itu juga tidak membantah bahwa ia menggunakan istilah "Desa Inggris" untuk menggambarkan semakin banyaknya tempat kursus bahasa Inggris di desa itu. Sebagian orang, khususnya mahasiswa, bahkan menyebut daerah itu sebagai "Desa Inggris." "Pendapat berbeda-beda," imbuhnya. Istilah itu juga muncul karena sebagian besar penduduk desa itu bekerja sebagai tamu. Penduduknya adalah mahasiswa yang belajar bahasa Inggris.
Setiap tahun, jumlah siswa bertambah hingga ribuan. Misalnya, BEC saat ini memiliki sekitar 850 siswa, belum termasuk siswa dari program lain. Suasana kampung Inggris semakin terasa, karena hampir semua rumah yang disewa sebagai wisma memiliki nama asing. Di antaranya White House, Red House, Philadelphia, Green House, Newcastle, Vampire House, dan masih banyak lagi. Dinominasikannya guru teladan Calend Osen di Seputa, Indonesia, sebagai Person of the Year (POTY) pada tahun 2009 bukanlah prestasi kecil. Selain kegigihannya selama bertahun-tahun dalam memajukan bahasa Inggris, kiprahnya tak lepas dari perluasan kurikulum bahasa Inggris di wilayah Pari yang telah memberikan efek berganda yang sangat besar.
Secara ekonomi, Desa Singhahan yang dulunya hanya mengandalkan pertanian, kini diuntungkan dengan banyaknya lembaga pendidikan yang ada. Sejak berdirinya BEC, banyak lembaga sejenis yang bermunculan. Berkat berdirinya BEC, banyak wisma tamu, kios, toko buku, dan kegiatan komersial lainnya juga bermunculan. Daerah sekitarnya juga merasakan manfaat ekonomi ini secara tidak langsung.
"Sangat membantu. Sangat membantu," kata Wiota Asma John, warga Purodadi, Jawa Tengah, mantan siswa BEC yang akhirnya menetap di Dusun Singhahan, membuka toko buku, dan menjual berbagai keperluan. Senada dengan Yunyati, peternak lebah BEC, mengatakan, "Banyak siswa yang membeli madu dari saya," kata warga Yogyakarta itu. Selain itu, sebagian besar pendiri kursus bahasa Inggris Paregion adalah lulusan BEC.
Bahkan, banyak lulusan BEC dari luar daerah atau pulau yang mendirikan lembaga sejenis di daerahnya setelah menyelesaikan program studi singkat, biasanya enam bulan, di BEC. Selain itu, melalui program rintisan pemerintah Sekolah Berstandar Internasional (RSBI), banyak guru dari berbagai daerah menjalani program pelatihan singkat selama satu bulan di bawah Sistem Pelatihan BEC (TS). RSBI bertujuan untuk memastikan bahwa siswa dan guru memperoleh penguasaan bahasa Inggris yang baik saat belajar dan mengajar. Hal ini merupakan efek berganda dari pendirian BEC, yang digagas oleh Calend Osen pada tahun 1976. Ribuan orang dari seluruh negeri lahir di Dusun Singhahan dan belajar berbicara bahasa Inggris dengan lancar. Sejak awal berdirinya, BEC telah melatih 16.285 lulusan.
Jalan panjang menuju kesuksesan. Ayah tiga anak yang lahir pada 20 Februari 1945 di Kutai-Kartanegara, Kalimantan Timur ini pernah mengalami masa sulit. Ia berjuang selama puluhan tahun. Pria yang sudah beruban itu tidak pernah membayangkan kesuksesan seperti itu. "Ini melebihi ekspektasi saya," katanya. Kalend kemudian menceritakan bagaimana kariernya berawal di Kedira Pare.
Sekitar tahun 1976, Kalend Dusun Singhahan datang menemui KH Ahmad Yazid (kemudian), seorang pendeta setempat yang saat itu menjadi pengurus masjid dan Pandok Darul Falah. Selain ilmu agamanya yang luas, Kiai Yazid yang akrab disapa Kalend juga menguasai sembilan bahasa asing. Sebelum pindah ke Pare, Kalend sempat menimba ilmu di Pondok Pesantren Modern Darussalam Ponaroga Gontari, Jawa Timur.
Ia tidak menamatkan sekolahnya di sana. Ia hanya belajar sampai kelas lima (setara dengan siklus kedua SMA) di Kuliatul Mu'allimin Al Islamiyya. Calend berusia sekitar 31 tahun dan merupakan siswa tertua di kelasnya. Sebelum masuk pesantren di Gontar pada tahun 1971, Kalend bekerja sebagai guru di kota kelahirannya dari tahun 1966 hingga 1967. Ia memasuki profesi tersebut setelah memperoleh sertifikat PGA, tetapi hanya sampai kelas empat (setara dengan siklus pertama SMA).
Pengalaman mengajarnya di Kalimantan ternyata belum cukup untuk menimba ilmu yang memadai. Kemudian, di usianya yang menginjak 27 tahun, ia memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Jawa. "Saya ingin revolusi dalam hidup saya," putus Kalend saat meninggalkan Pulau Kalimantan. Kalend mengawali kariernya sebagai guru bahasa Inggris di balkon Masjid Darul Falah. Ia melakukannya secara tidak sengaja. Ia lalu menuturkan sebuah kisah: saat itu, dua orang mahasiswa semester akhir IAIN Sunan Ampel Surabaya datang untuk belajar kepada Kiai Yazid. Mereka tengah mempersiapkan diri menghadapi ujian akhir bahasa Inggris di kampus mereka untuk meraih gelar sarjana. Namun, Kiai Yazid tidak hadir, padahal ujian akhir hanya tinggal lima hari lagi.
Akhirnya, istri Kia, Yazida, menyarankan kedua siswi tersebut untuk belajar bahasa Inggris bersama Kalend. "Kenapa tidak coba saja Pak Callend? Dia kan di Gontar, dia yakin bisa," kata Callend mengikuti saran istri Kia, Yazid. Calend pun memberanikan diri untuk mengajari mereka bahasa Inggris, meski dia belum pernah kuliah di universitas. Mereka mengakhiri pelajaran bahasa Inggris selama lima hari bersama Kalendar di balkon Masjid Darul Falah, dengan membahas 350 soal yang menjadi acuan untuk ujian bahasa Inggris kedua siswi tersebut.
Berkat didikan Kalend, kedua mahasiswa itu pun meraih gelar sarjana. Setelah lulus ujian di IAIN Sunan Ampel, Surabaya, mereka kembali ke kalender. Kabar keberhasilan mereka pun menyebar dengan cepat. Sejak saat itu, pria yang juga penggemar tenis meja itu pun memiliki banyak murid. Kalend kemudian mendirikan lembaga pendidikan bernama BEC yang awalnya bertempat di bawah kubah masjid. Pesertanya adalah para remaja dan pelajarannya pun gratis. Meski demikian, para muridnya tetap membayar Kalend setiap bulan sebagai tanda terima kasih. Muhammad Kalend Osen memang dikenal luas di dunia pendidikan Indonesia. Mantan santri Pondok Pesantren Gontor ini merupakan pendiri Basic English Course (BEC).
Kalend BEC didirikan oleh Dusun Singahan, warga Desa Palem, Kecamatan Pare, Provinsi Kediri, Jawa Timur. Lembaga bahasa Inggris yang didirikan warga asli Kalimantan Timur ini merupakan cikal bakal "Kampung Inglis" di wilayah Kediri. Sebuah kalimat yang mendorongnya meninggalkan Kalimantan: "Saya ingin revolusi dalam hidup," jelas Callend, yang saat itu berusia 27 tahun. Inilah motivasinya: kerja keras dan hasil yang luar biasa. Buktinya, 16.285 lulusan BEC telah bergabung dalam gerakan ini.
-------------
Biografi Kalend Osen:
- Nama: Muhammad Kalend Osen
- Lahir: Kutay Cartagena, 20 Februari 1945
- Istri: Kota Fatima
- Anak-anak : Muhammad Shamuridzal, Noor Halima, Muhammad Fuad
- Sekolah Umum (SR) Cebulu, Kutai, Kalimantan Timur (1960)
- PGA Tangerang Kutai (1964)
- Universitas Pendidikan Agama Islam (KMI) Gontor (sampai dengan tahun kelima)
.
.
.
.
Sumber: Berbagai sumber
Posting Komentar